Model
Pembelajaran Berbasis Pendekatan PAIKEM
a. Pembelajaran Aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa
yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari
apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa
yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak
sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta
didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat diko-munikasikan dan
ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya
perubahan pembelajaran dari teacher
centered ke student centered.
Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah
terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta
didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu,
tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagaimanapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk
mengubahnya perlu kesung-guhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang
terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran
aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik,
sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju
belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik
untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir,
emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak
didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi
yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan
potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk
berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat
menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna
baginya.
Guru
yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan
balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak
didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka
yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang
lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya,
sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menan-tang kepada anak
didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan
disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menye-lesaikan
materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri
untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan
menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari
jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan
pengetahuannya akan selalu ber-tambah dari hari ke hari.
b. Pembelajaran Inovatif dan Kreatif
Setiap
manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang
tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam
pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru
dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak
seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran
inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang
belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu
yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran
lebih hidup hanya karena sang guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan
pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk
membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan
peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar
dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran
kreatif adalah pembela-jaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan
daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran
orang kebanyakan. Kreatif merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diurai : C (combine), R (reverse), E (eliminate),
A (alternatif), T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam
benaknya berisi pertanyaan : dapatkan saya mengkombinasi / menambah, membalik,
menghilangkan, mencari cara / bahan lain, memutar, mengelaborasikan sesuatu ke
dalam benda yang sudah ada sebelumnya ?
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam
pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu
membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau
mengemukakan gagasan / ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada
satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap
segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenar-an, banyak membaca artikel
penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Berpikir kreatif dapat diawali dengan bercanda dan
berteka-teki tentang sesuatu, karena berpikir kreatif berlangsung ketika otak
dalam keadaan santai. Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan/ide yang
berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat
sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan.
Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan
orang yang berpikir kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk
dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat
dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan
kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak
dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita
mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang
kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu
diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik
kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan
didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita
berusaha menjelaskan/menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan
fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Guru
yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang
beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang
dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif
dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat
refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
c. Pembelajaran Efektif
Efektif
memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap
yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu
mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif
jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun
ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan,
anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan
efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada
anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan
mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan
kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
d. Pembelajaran Menyenangkan (Joyful Learning)
Saat ini di berbagai negara sedang
trend dan semangat mengembangkan joyful
learning dan meaningful learning,
yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak
didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan
bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan
perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam
memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa
yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era
globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran
yang demikian.
Semua
mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagai-mana niat
dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi
yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik
saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus
dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah di dunia yang diadakan
UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi
yang menye-nangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran
menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak
didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa
ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka
perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit.
Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya
berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Lebih
lanjut dikemukakan, keadaan ini dapat diatasi apabila guru menyadari lalu
mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan
aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan
kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran
menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah,
ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat
dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat / gagasan, dan mempertanya-kan
gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit,
karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkuangan
yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan
mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda
berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu”
akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam
tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah
mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan
relaksasi.
Sesuai
dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat
mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur
kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih
baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara
logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang
dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau
kalimat yang didengar sudah familiar
di kepala kita. Melalui joyful learning
diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik.
Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti.
Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar
berkualitas.
Seperti
diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan
pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang
menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan
adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik,
gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio,
penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya
kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk
mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan
menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif.
Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh
warna, lucu, multisenso-rik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi,
simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka
kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada
anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran
dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan,
atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai
materi yang diajarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar